Mobile Edition
By Blogger Touch Mahkota Dewa Musuh Baru Aneka Penyakit | tanamanobat

tanamanobat

TAK sulit menemukan kantornya di bilangan Jalan Gaharu, Rawa Badak, Jakarta Utara.

Dari kejauhan, gedung berwarna ungu itu tegak mencolok, membedakannya dengan warna bangunan lain di sekitarnya.

Gorden kantor itu berwarna ungu. Para karyawan yang akan bertugas ke acara Flona Asia di Lapangan Banteng juga berseragam ungu.
WARNA ungu adalah warna favorit Ning Harmanto (47), Presiden Direktur PT Mahkotadewa Indonesia. "Secara universal itu warna kesetiaan dan katanya juga simbol percaya diri ya," ujarnya. Padahal, ia mengaku minder kalau berada di tengah-tengah pengusaha. "Mungkin karena saya ini asalnya ibu rumah tangga biasa ya," sambungnya.

Ning memang ibu rumah tangga. Kata "biasa" harus dicoret, bukan hanya karena ibu rumah tangga adalah profesi yang tak boleh dipandang sebagai "biasa-biasa" saja, tetapi juga karena sejatinya ibu tiga anak ini memang istimewa.

Keyakinannya akan keampuhan obat tradisional Indonesia memicu kreativitasnya untuk menjadikan obat-obatan dari bahan-bahan alami dan tanaman obat sejajar dengan obat-obatan modern. "Indonesia dilimpahi aneka jenis tanaman obat dalam keragaman hayati yang berlimpah. Kalau serius, kita enggak kalah sama China," katanya.

Sayangnya, industri tanaman obat tidak mendapat dukungan memadai dari pemerintah maupun industri farmasi. Ning memilih mengembangkan fitofarmaka yang konsepnya tidak berbeda dengan obat modern, karena obat yang berasal dari tanaman itu melalui proses uji klinis serta pra-uji klinis persyaratan formal produk pengobatan.

Ia pun memilih mahkota dewa (phaleria macrocarpa). Bahan baku semua produknya berasal dari tanaman itu. Mahkota dewa merupakan tanaman perdu yang batang, daun, dan buahnya sangat ampuh untuk menaklukkan berbagai penyakit karena mengandung antioksidan yang tinggi, namun bijinya sangat beracun.

Ning mengenalnya pertama kali dari adiknya di Yogyakarta yang bercerita bahwa anaknya sembuh dari radang pankreas hanya dua minggu setelah mengonsumsi mahkota dewa. Ia tertarik. Lalu ia diajak meminta buah mahkota dewa dari tetangganya, yang kemudian bercerita bahwa dokter puskesmas pun sering meminta mahkota dewa untuk mengobati kanker yang diderita ibunya. Ia semakin tertarik dan membawa pulang satu kantong plastik mahkota dewa.

Di Jakarta, ia mengujicobakan buah itu pada dirinya, keluarganya, kerabat, dan kenalan. Hasilnya cukup memuaskan. Namun, Ning yang mengantongi ijazah dari Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa Inggris itu kesulitan mencari literatur tentang tanaman itu. Beruntung ia bertemu dengan Dr Regina Sumastuti dari Universitas Gadjah Mada yang melakukan penelitian tentang khasiat dan kandungan kimia buah tersebut.

Pada tahun 1998, ibunya mengalami pendarahan hebat sampai harus dirawat inap di rumah sakit. Keadaannya parah. Dokter menyarankan agar dibawa pulang saja. Di rumah, ia meminta adiknya merebus tiga buah mahkota dewa dengan tiga gelas air untuk mengobati sang ibu. Kesadaran sang ibu berangsur pulih dan akhirnya sehat kembali. "Ibu masih hidup dengan sehat tiga tahun kemudian. Beliau meninggal dalam keadaan sehat. Usianya 80 tahun," ujar Ning.

UNTUK meningkatkan pengetahuannya mengenai tanaman obat, ia belajar di Karya Sari. Modal awal usaha ia ambil dari tabungan hasil merias pengantin. "Kalau enggak salah Rp 10 juta modal awalnya," sambung Ning yang sejak muda tidak bisa diam dan hanya menerima uang dari gaji suami. Selain merias pengantin, ia juga menjadi pembawa acara di berbagai perhelatan.

Ketika usahanya membesar, ia "mengancam" suaminya untuk memilih satu dari dua: PT Astra atau istri. Suaminya sudah 22 tahun bekerja di PT Astra dan posisinya sangat baik. Sang suami kemudian memilih pensiun dini untuk membantu istrinya dan mengelola perusahaan itu dengan manajemen modern.

Sebenarnya ia pula yang memberi semangat sang istri untuk membuat perusahaan profesional supaya lebih bisa dipercaya. Perusahaan baru berdiri tanggal 1 Januari 2003, atau empat tahun setelah berproduksi, bahkan Klinik Tradisional Mahkota Dewa sudah berdiri bulan November 2002. Ia juga sempat membuka praktik pengobatan tradisional di Klinik Buana Minggu.

Kini Ning memiliki sekitar 80 karyawan, dengan 57 produk, terdiri dari teh racik, instan, kapsul, minyak dan produk perawatan kecantikan yang sudah ia patenkan. Selama ini dia bekerja sama dengan banyak dokter dan ilmuwan. Ia juga mengembangkan produknya bekerja sama dengan PT Indofarma.

Dengan telaten, Ning juga merekam perkembangan para pasien yang menggunakan obat-obat produksinya melalui uji laboratorium dan diagnosa dokter. Ia juga menulis dan menghasilkan sedikitnya lima buku mengenai mahkota dewa dan tanaman obat. Katalog buatannya menarik karena dilengkapi kisah di balik produk.

Pada tanggal 28 November 2004 pihaknya juga menandatangani kerja sama penelitian dengan Ditjen HAKI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Yamanashi University. Prof Akio Maimura dan timnya akan melakukan riset mahkota dewa di laboratorium mereka di Tokyo.

Tiga tahun terakhir ini telah mengubah hidup Ning secara drastis, dari ibu rumah tangga yang-kalaupun aktif-tetap berada di lingkup tertentu, menjadi perempuan pengusaha yang harus lebih banyak berhubungan dengan dunia luar. "Semua ini di luar rencana karena niat saya hanya membantu orang supaya sehat," tuturnya.

Sampai saat ini pun cita-citanya masih sesederhana itu: membantu mengobati mereka yang sudah putus asa karena penyakitnya tak kunjung membaik dan kondisi ekonominya pas-pasan. Itu pula sebabnya resep produknya tak ada yang disembunyikan dan tak hirau beberapa jenis produknya ditiru orang. Hubungannya dengan pasien bukan hubungan putus. Setidaknya seminggu sekali pihak klinik menyapa pasien melalui telepon untuk menanyakan perkembangan mereka. Selama empat tahun terakhir ia menyimpan banyak kisah mengenai drama hidup para pasiennya.

Semua pencapaiannya sekarang sebenarnya berawal dari kesukaannya akan tanaman. Ia menanam aneka sayuran di pot-pot di depan kamarnya karena lahan rumahnya sempit, dan menganjurkan teman-temannya melakukan hal serupa untuk menghijaukan rumah dan dikonsumsi sendiri. Lalu mereka membentuk Kelompok Wanita Tani Bunga Lili pada bulan November 1999 dan mendapat banyak pelatihan mengolah hasil panen dari dinas pertanian setempat.

"Kami membuat saus tomat, buat sirop, dan lain-lain. Modalnya Rp 50.000 per orang. Sirop kita omzetnya pernah mencapai Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per bulan," ujarnya. Dari 10 anggota kelompoknya, tujuh di antaranya menjadi karyawan dan mitra usahanya. "Sebagian terlibat di klinik, karena saya yakin, ibu rumah tangga lebih punya empati terhadap pasien," ujarnya. (MH)